Dalam Renung Tak Berujung
Lembayung berarak mengikuti langitnya yang kelam. Awanpun pekat hitam pertanda hujan akan mengamuk di atas pijakannya. Hiruk pikuk kota tak hentinya menantang hujan. Manusianya masih tetap berburu nafsu, entah apa yang diinginkannya, tak akan pernah lekang oleh waktu. Allahu akbar … Allahu akbar, adzan magrib pun berkumandang di seluruh penjuru kota.
***
Jam enam sore. Entah mengapa susana hari itu kelihatan lengang. Biasanya selalu diisi dengan pertengkaran perempuan tua dengan suaminya karena masalah celana dalam suaminya sering dipake oleh perempuan tua itu, ditambah lagi kucing hitam yang selalu mengeong karena tenggorokannya masih tertusuk tulang ikan yang kemudian sering dipukuli oleh anak kecil dengan kaleng susu tempat ia menggulungkan benang layangan, hingga bunyinya membuat berisik tetangga. Hari itu bukan hari yang selalu menghiasi kampung pinggir kota. Seorang laki paru baya, tetap terdiam dibalik jendela kayu yang terbuat dari akasia yang mulai rapuh dimakan rayap. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kulitnya kelam karena matahari terus memangganginya. Matanya bersinar kecoklatan, namun ia tidak terlalu memikirkan keindahan matanya itu, seperti orang lain yang slalu mengidentikkan mata coklat dengan bule. Sebenarnya wajahnya tampan, karena tidak terurus, wajah itu makin hari makin kusam, ditambah kagi rambutnya yang sedikit galing nampak kusut semrawut, seperti hatinya yang lagi kisruh. Matanya terpusat pada sebuah benda, entah apa yang sedang ia pikirkan. Dia bak patung yang menginginkan nyawanya kembali.
***
Krik…krik…krik… suara jangkrik terus memekakan telinga seolah malam mengundangnya berpesta selepas hujan tadi. Dia masih terpaku melawan angin yang terasa makin dingin merasuki kulit hingga menusuk ke tulang belulangnya. “Aaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkhhhhhhhhhhhhh”, Rambutnya dijabakinya seakan galau memaksa untuk mengikuti permainannya. Dia tak hiraukan orang lain yang melihatnya sekalipun itu kelelawar. Mulutnya sedikit menganga, ia masih tetap diam. Malampun merobek lembayung yang malu-malu mengundurkan diri. Entah apa yang membuat ia tergugah dari lamunannya, mungkin bosan telah pergi dari ilusinya. Ia melangkah sambil menutup jendela itu. Ruangan itu gelap. Sebentar ia terdiam. Ah…, lampunya menyala setelah ia meng-on dan off-kannya berulang kali. Ruangan itu menjadi terang. Di sudut kanannya, sebuah ranjang tua bertengger di sana, tempat ia menghilangkan kepenatan dan mencurahkan kegundahan hatinya sampai bantalnya memperlihatkan jejak air mata yang slalu ia linangkan. Di dekatnya, meja multi fungsi tempat ia belajar, berkarya, bahkan mengupil sampai upilnya hampir memenuhi balik taplak meja itu. Ruangan itu semakin sesak dan sesak saja. Dia berbaring dalam renungnya akan hidup yang semakin menjalar diotaknya. Lampu kota pun padam, ada pohon plamboyan yang tumbang menimpa gardu listrik.
***
Srek…srek…srek…, sandal bakiak perempuan tua mengorek kesunyian rumah itu. “Ndi, Lundi, sudahkah kamu magrib? Ayo lekas! Waktu magribnya ampir abis “.seru perempuan itu pada anaknya dengan suaranya yang parau. “Iya … iya”. Jawabnya malas. Anggukan itu hanyalah persetujuan belaka. Dia tak menghiraukannya.
“Ya Rabb… dunia ini jungkir balik rasanya, mengapa pengorbanan tak lagi menjadi tameng? Kehidupan hedonis seolah menjadi pigur perubahan peradaban. Menyakitkan!!!”. Desahnya pelan.
Peraduannya adalah tempat ia mengakhiri segala keluh dan kesah. Air matanya berlinang, gurat pipinya lebih jelas kelihatan oleh basahan air mata itu.
Tok… tok… tok…
“Lundi!”
“ya”
“Dari tadi mama perhatikan kau masih mengurung di kamar. Ada apa denganmu? Tidak sakitkah kau”. Ujar perempuan tua itu dengan logat bataknya yang lebih didominasi oleh medok jawa.
“Ah tidak Ma”. Dihapusnya air mata itu.
“Kalau begitu lekaslah solat. Bukankah Allah membenci orang yang menunda-nunda, apalagi melalaikannya.”
Teg! Dia tersentak lalu bangun seketika. Dirabanya tiap dinding penyekat rumahnya karena lampu masih padam.
***
Byur… byur… byur… air wudhu mengalir membersihkan tubuhnya. Langkah kakinya membawanya ke ruangan kecil. Ruang yang hanya cukup untuk satu orang berbaring ialah tempat ia menunaikan kewajibannya bergantian dengan ibunya. Dia magrib dengan setengah khusyu, pemikirannya masih bertebaran dalam ilusinya.
“Assalamualaikum warahmatullah” ditolehkannya wajahnya ke kanan
“Assalamualaikum warahmatullah”dan ke kiri
Dia tak lekas makan selepas magrib seperti biasanya. Dia masih duduk berkainkan sarung yang melekat dipinggangnya. Dia bergumam sendiri sembari memegang tasbih, sepertinya ia sedang berdzikir.
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami bersalah. Wahai Tuhan kami, janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat, sebagai mana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami, apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkau penolong kami terhadap kaum yang kafir”. Dia berdoa memohon keringan dari beban yang berat sembari mengangkat kedua tangannya.
Hari semakin cepat bergulir. Waktu tak hentinya berdetak memecahkan kesunyian layaknya konser musik yang merajai panggung. Udara semakin dingin. Sesekali gesekan pohon nyiur ikut meramaikan malam itu. Dia beranjak dari tempatnya. Ditengoknya keponakannya yang tertidur dengan lelap. Ia adalah anak kakaknya yang sekarang bekerja di Tanjung Betung bersama suaminya karena suami kakaknya itu seorang pelaut. Sudah empat hari keponakannya itu terserang penyakit dikakinya. Entah bisul ataukah daging jadi.
“Ma tidakah Ayu nangis siang tadi”
“Iya, dia rewel, kakinya masih sakit, malah semakin besar saja bengkaknya”
“ Sudah dibawa ke dokter?”
“Besok siang Ma akan ke mantri Adi,”
Sesekali diliatnya yang membengkak dikaki keponakannya itu, terkadang pula dielusnya.
“Ndi, sudahkah kamu makan? Segeralah! Walaupun hanya sepotong tempe dan sambal terasi tapi itu rizki yang Allah berikan buat Kita ”
“Gak lapar Ma”
“Ya sudahlah. Tapi kalau kau lapar ambil nasinya di lemari makan”
Dia beranjak dari tempatnya. Menengok keluar karena suara anjing terus menggonggong di dekat rumahnya. Suara anjing itu semakin membuat orang-orang tertidur, mungkin itu adalah nyanyian nina bobo yang mengantar mereka tertidur, tapi bagi dia itu sebuah pergulatan antara otak, hati dan telinganya yang tak singkron bagi dirinya. Dia terus mondar-mandir bagai strikaan yang hampir menggosongkan baju yang menjadi alasnya beraksi. Wuh…
“Aaakkkkhhh”, desahnya agak keras disertai pukulan tangan kearah kepalanya sendiri.
“Ada apa dengan kau! ceritalah pada mama, mama tau kau punya masalah, Ayo ceritakanlah!!!”
“Ah tidak ma mungkin sedikit cape aja tadi sehabis sekolah”
“Jangan berbohonglah, mama bisa membedakan antara orang yang cape ama orang yang lagi dirundung masalah”
Dengan ragu-ragu dan suara yang tersendat-sendat dia menceritakan kepada ibunya apa yang membuat ia terus bergundah gulana.
“Ma, mengapa hidup ini kian hari kian pelik saja.”
“Memangnya mengapa, sampe kau berkata demikian”
“Ingin rasanya kembali ke masa dahulu. Bermain kuda-kudaan dari pelepah pisang yang dibuatkan bapak dan dimainkan bareng kawan-kawan. Andai saja mesin waktu itu ada. Akh….”
“Mama ndak ngerti apa yang kau bicarakan”
“Ma, kini aku telah dewasa, beban berat kini mulai kurasakan, nonjok dihati rasanya. Aku tak tahu kedepannya aku bakal jadi apa, apa jadi petani desa seperti bapak dahulu atau menjadi insinyur seperti yang mama harapkan, biar aku bisa seperti orang kebanyakan, Duh… Bapak telah tiada, dari mana aku bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan Mba Anti bersusah pula disana, kiriman Mba Anti hanya cukup buat kita makan ama beli susu buat Ayu. Ma, kasian ya Ayu, umur tiga taun udah dikasih cobaan seperti itu, Kita aja pasti merengek-rengek minta kesembuhan”
Tak terasa air mata menetes dari keduanya. Mereka tertegun disertai isak tangis. Malah Ibunya teringat pada suaminya yang telah tiada. Ibunya mengelus rambut dia yang dari tadi terus bercerita.
“Ma, apa aku bisa seperti kebanyakan orang sukses dan punya rumah mewah dengan kolam renang yang indah. Duh Rabb… kapan hambamu ini bisa mengganti rumah tua ini yang jendelanya saja udah rapuh dimakan rayap, ditambah lagi barang-barang yang semakin sesak memenuhi isi rumah. Ma, adakah orang yang akan menolongku kelak. Tak sanggup lagi rasanya jalani hidup”
“Jangan berkatalah seperti itu, Allah akan merubah suatu kaum jika kaum itu merubah nasibnya. Ya… dengan usaha, ikhtiar dan berdoa kepada sang Pencipta”
“Tapi ma, mengapa orang-orang kini acuh saja, pengorbanan tak lagi menjadi tameng, hanya sebuah patamorgana. Tadi saja selepas sekolah ada kakek tua yang terserempet mobil sedan. Eh… orang yang nyerempet itu malah kabur begitu saja ”
“Lantas mengapa kau tak menolongnya”
“Aku sedang ada di bis ma, ingin rasanya ku tolong. Tapi aku tak punya uang lagi tuk pulang. Semasa di bis ada seorang ibu sebaya mama sebis denganku, beliau bawa barang banyak sekali ditambah lagi tiga orang anak, yang satu digendong, yang duanya dituntun. Keliatan repot ibu itu. Kupersilakan saja beliau duduk walau aku berada dekat jendela, ditambah lagi sesaknya bis itu. Aku tak ngerti dengan hidup zaman sekarang. Kenapa orang tuh susah buat nolong orang laen. Ingin enak sendiri saja mereka, tak hiraukan kiri-kanan”
Dia bangkit dari tempat duduknya. Merasa kesal dengan kehidupan dunia yang hanya berdebat dengan nasfu, antara puas atau kecewa menyikapinya. Mereka terdiam sejenak. Ruangan itu semakin gelap saja. Malam enggankan bulan tuk bergantung padanya. Dia berusaha memejamkan matanya walau matanya tak mengantuk, antara cape dan galau masih menyelimutinya. Tidur tapi mata tak mau di ajak kompromi. Dipejamkan saja matanya olehnya sambil bola matanya ditarik ke atas biar cepat mengantuk. Perempuan tua itu pergi kebelakang, mengambil korek api dan menyalakan lampu minyak. Disinarinya rumahnya itu yang hanya sepetak warisan dari suaminya, biar siluet ruangan itu terlihat jelas.
Glomppppppraaaaaannngggggg…………
Permpuan tua itu tak sengaja menyentuh asbak yang berada di bibir meja.
“Ne, auh, nyeri ”. cucunya meraung-raung menahan sakit.
Seketika perempuan tua itu berlari ke kamar dimana keponakannya tertidur.
“Ne, auh, nyeri” berulang kali.
“Uuuh, sayang…sayang. Tahan ya. Besok kita obati sakitmu ”. ditiupnya kaki anak itu oleh perempuan tua itu.
“Ga mau ditiup. Auh. Mo di elus-elus aja kakinya ama bang Lundi ”, rengeknya lebih keras dari yang tadi.
Dijambakinya dan ditendang-tendang pula tubuh perempuan tua itu.
“Ndi, Lundi sudahkah kau tidur?Cepatlah kemari Ayu minta diusap kakinya oleh kau”
Dia pun berlari tak hiraukan apa yang ada dihadapnya. Keponakannya lebih penting darinya. Apa pun ia lakukan demi keponakannya itu. Ia rela. Itung-itung balas budi dia ke kakaknya itu.
“Aduh… sayang sini abang usapin kakimu. Bersabarlah… ”
“Ayu tak mau dielus lagi… aduh auh…”
Ditendangnya ia oleh kaki satunya. Perempuan tua itu kemudian menggendongnya hanya sekedar untuk menenangkan anak kecil itu. Ditimang, dielus-elus, dikipas-kipas, namun anak kecil itu tetap merengek kesakitan. Keheningan malampun terpecahkan oleh tangisannya.
Nyatalah anak kecil itu yang sakit. Jangankan anak kecil itu, orang dewasa pun pasti meraung menahan sakitnya. Biarlah ia meraung menahan sakitnya. Panas, perih, gatal, mencampur memenuhi rasa sakit pada kaki anak kecil itu yang kian hari kian membengkak saja. Tak tahan melihat ibunya ditendang-tendang dan keponakannya terus menangis, dia hanya terpaku. Sesekali suasana itu sunyi namun riuh rendah oleh tangisan anak kecil itu.
“Duh Gusti, cobaan apalagi yang engkau berikan kepada kami. Sudah cukuplah kami bersusah diri. Kasian mama yang udah tua, harusnya tenang saat ini malah kisruh oleh ulah kami, tahankanlah rasa sakit pada Ayu, dia masih kecil belum tau apa-apa. Ya Rabb… lindungilah keluarga kami. Kami ikhlas ridho dunia wal akhirat terhadap apapun cobaan yang Engkau berikan, asal kami bisa melaluinya. ”
Kesedihan yang dalam berlabuh dihatinya, entah berapa liter air mata ia curahkan. Memang kehidupan ini penuh liku, sebentar suka dan duka pun menjelma. Dibaringkannya tubuhnya ke kursi tua yang ada didekatnya. Dia terdiam. Suasana hening, seolah alam terhanyut dan turut merasakan kesedihannya.
***
Hari makin larut…larut dan larut saja. Tak ada sedikitpun bunyi kehidupan disekelilingnya. Hanya tetesan-tetesan air yang berada di bak mandi rumahnya.
“Sudahlah kau tidur, kelihatannya kau cape”
“Tidak ah ma, takut, takut tak bisa bangun lagi”
“Mengapa kau kata itu, jangan sembrono”
“Hanya ingin dekat Ma saja malam ini. Sebelum bulan mengundurkan dirinya dan pagi pun tiba ”
“Tak baiklah serupa itu, besok kau harus bantu ma pergi ke mantri Adi, kasiankah kau pada Ayu. Esok kau banyak kerjaan bantu ma, ya”
“Tidak ah ma”
“Lah… kau ini, lekaslah. Tak lupakan shalat isya berdoalah pada tuhan pemberi kemudahan”
“Iya ma”
Dia pun mengundurkan diri, hendak tidur gapai esok yang mungkin lebih baik dari sekarang.
Awan diluar sana berseri menebarkan pesona pada bintangnya yang kian memancarkan cahaya menambah keromantisan bagi orang yang bercinta. Pohon-pohon merontokan daunnya tak tahan akan dinginnya udara malam itu. Tikus-tikus di atap rumah itu mulai melancarkan aksinya, serasanya tak ada yang merhatikan lakunya.
Rumah itu kini sepi kembali. Tak ada tangis anak kecil lagi. Mungkin dia kelelahan. Didekapnya anak kecil itu oleh perempuan tua, seakan tak pernah lepas, erat sekali. Sesimpul senyumnya membawa kedamaian, indah sekali, tubuhnya yang kurus kering ialah perjuangan hidupnya selama ini, perjuangan yang tak akan pernah mati demi anak dan cucunya itu.
Wajah polos anak kecil itu menawarkan suasana. Perlahan dan pelan ia menghela nafas, tenang sekali.
Lampu minyak itu pun hendak tertidur pula, belaian angin membawanya pergi seakan minyak itu mendukungnya tuk lenyap. Habis dalam rongga-rongga, habis perkara malam itu.
***
Jam satu pagi. Suasana mulai riuh rendah. Rengekan motor mengawali pagi itu. Pedagang-pedagang warung pergi ke pasar untuk memenuhi pesanan pelanggannya. Masih terlalu pagi memang, tapi itulah kebiasaan mereka mengawali harinya.
Sesekali terdengar ayam berkokok, Nampak malu-malu, membangunkan majikannya dari lelapnya istirahat yang cukup panjang. Suara itu membuat dia terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Galau ini terus menghantuinya kemanapun ia melangkah kecuali ia memohon kepada Allah. Lampu di kampung itu kini benderang kembali. Pegawai PLN nampak kerja keras malam ini. Ia melihat jam dinding yang ada didekat kamarnya, jam satu lewat sembilan belas menit. Dia bergegas ke kamar mandi hendak mengambil air wudhu. Dingin terasa membasahi tubuhnya air itu, namun kesegaran ada padanya. Tetap berkainkan sarung ia menunaikan shalat isya. Tak hentinya memohon perlindungan Allah, ia melanjutkan shalatnya dengan qiamul lail, menambah ke istiqomahan ia dalam menjalani hidup.
Dibaringkannya tubuhnya, menatap langit-langit yang lembab berwarna cokelat saking tuanya, namun ia tetap mengingat asma Allah. Sesekali bergumam, diam terpaku, kadang isak tangis menghiasinya.
“Ya, Rabb malam ini teramat indah untukku bercumbu kepada-Mu. Engkaulah penguasa langit dan bumi serta isi didalamnya. HambaMu hanyalah makhluk papa yang tak dapat melawan kekuasaan-Mu,hanya segala pertolongan, hamba yakin itu. Hidup yang terasa menyesakan adalah karuniaMu yang indah bagiku, ku tahu Engkau sayang padaku, teramat berdosanya aku padaMu, mungkin Engkau mengutukku seperti ini, hamba ikhlas, mudah-mudahan diberikan kesejahteraan. Periharalah ibuku sampai aku setidaknya bisa membalas jasanya selama ini sebagaimana aku dipelihara olehnya sewaktu kecil, sembuhkanlah orang-orang yang sakit yang Engkau kasihi, lindungilah orang-orang yang ingin Engkau lindungi. Bukakan jalan taubat orang-orang yang terlalu sombong kepadaMu. Masa depanku ada ditanganMu, apapun yang terjadi itulah aku karena kehendakMu, semoga ada orang yang menolong hidupku, itu semua kehedakmu. Sejahtera dunia-akherat itu ku dambakan, kabulkanlah doa hambamu ini”
Dia mengakhiri doanya dengan segala kekuatan yang tak bergeming oleh pengaruh apapun, kegalauan yang ia rasakan selama ini terbayarlah sudah. Permohonan… permohonan kepada Tuhannya ialah jalannya melabuhkan kepenatan. Perlindungan kepada Tuhannya dari kehidupan yang pelik terutama pengorbanan yang tak lagi menjadi tameng, hanya klise di oase padang pasir menjadi sandaran selama hidupnya selama ini dan mungkin seumur hidupnya.
***
Jam setengah empat. Dia beranjak dari tempat itu, melangkah ke kamarnya yang serasa lebih longgar dari biasanya, mungkin lebih segar karena penghuninya lebih tersimpul oleh senyum. Walau galaunya menghilang dari pikirannya, namun ia terus memikirkan pola manusia yang acuh, egois, dan entah sebutan apalagi yang pantas untuk orang yang seperti itu. Untuk mengobati kekesalannya ia goreskan lewat puisi
Solidaritas dalam nyawa tak berbingkai
Mata waktu kini tak tentu
Bumi berkelana dalam bejana tak nyata
Mengapa malam enggankan bulan tuk bergantung padanya?
Tak mungkin Tuhan bermain dadu dalam ciptaanNya
Apalah artinya hidup tanpa bicara
Separuh hati luangkan kasih dalam biduk cinta
Embun bak cermin dalam nuansa
Perlahan dan pelan menyelam malam
Tapi kini bintangnya terjebak dalam langit penuh duri
Bukankah asa harus terasa dalam dada?
Ah… musnahlah semua
Aku tak peduli padanya
Dalam Cinta penuh luka bagi para pujangga
Purnama bersorak karena langitnya kelam
Tapi mengapa malam enggankan bulan tuk bergantung padanya?
Tak mungkin Tuhan bermain dadu dalam ciptaanNya
Berarti hidup walau tanpa menyapa
Suara yang parau dalam danau tak bermuara
Lebah bergantung di sarangnya memastikan.. apakah dunia ini ada?
Dinamika hidup yang berputar tak pasti
Kepedulian yang tergambar fatamorgana
Hanya sebuah klise di oase padang pasir
Aku lelah dalam peluh yang meluluh di tubuh
Kini rimbamu tak pasti adanya
Perjuangan…
Kuarungi semua tanpa kekecewaan
***
Mentari pagi memancarkan keelokan warnanya, memberikan sumber kehidupan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Entah mengapa hari itu berbeda dari hari biasanya. Ayam jago berkokok lebih keras.Langit nampak lebih berseri dari biasanya. Dedaunan beradu sapa seolah memberikan kabar gembira. hiruk pikuk kota menjeritkan kebahagiannya kembali yang telah hilang di telan rembulan malam tadi. Kini, alampun serasa lebih bersahabat. Merpati akhirnya membawa tangkai zaitun simbol kedamaian hati. Janda tua yang selalu berebut celana dalam dengan suaminya kini tak terjadi lagi, mereka telah membelinya malam tadi. Dan kucing hitampun tak mengeong lagi meraung-raung, tulang ikan yang menusuk ditenggorokannya telah bercampur dilambungnya. Anak kecil yang suka memukuli kucing hitam itu bisa bermain layangan dengan bebasnya. Tak ada lagi marah tetangga yang slalu menceramahi anak kecil itu. Ah … damai sekali. Hari yang berbeda dari hari biasanya. Lelaki itu kini nampak lega. Tersimpul senyumnya menantang masa depan yang gemilang, tanpa kecewa, tanpa gundah gulana. Kulitnya lebih bersih, rambutnya ditata dengan rapi, hendak mengantarkan keponakannya ke dokter.
***
“Ga sakit kan, sekarang gimana lebih baikan?”
“Iya, ndak sakit, aku bisa bermain kejar-kejaran lagi dong”
“Boleh tapi tunggu kamu sembuh dulu”
Anak kecil itu menyunggingkan bibirnya, seolah tak setuju dengan perkataannya itu. Perempuan tua itu hanya tersenyum melihat ulah kedua malaikat kecilnya itu. Senyum yang penuh harapan.
“Ma, tadi tu darah apa nanah yang dikeluarkan dari kaki Ayu”
“Nanah yang bercampur darah kotor”
“Oh gitu, jadi penyakit apa namanya”
“Tanya saja ama mantra Adi”
“Haaahhh”
Mereka memulai hidupnya yang baru, tanpa resah, sakit dan gejolak yang ada dijiwanya. Renungnya kini menemui ujungnya. Dia menjalani kehidupannya dengan perjuangan tanpa kekecewaan.
SELESAI